Keshalihan Orang Tua Merupakan Modal Utama Pendidikan Anak
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
Keshalihan Orang Tua Merupakan Modal Utama Pendidikan Anak merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Mencetak Generasi Rabbani. Kajian ini disampaikan pada 3 Jumadal Akhirah 1441 H / 28 Januari 2020 M.
Kajian Islam Ilmiah Tentang Keshalihan Orang Tua Merupakan Modal Utama Pendidikan Anak
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setiap keburukan itu pasti adalah akibat dari dosa dan maksiat. Sebaliknya, kebaikan itu adalah akibat dari dari amal-amal kebaikan yang kita lakukan, keshalihan yang kita miliki, ketakwaan yang kita jalani. Itu akan melahirkan kebaikan-kebaikan sebagaimana dosa dan maksiat akan melahirkan keburukan-keburukan.
Salah satu kebaikan yang mungkin kita harapkan adalah keshalihan dan kebaikan anak-anak kita. Tentunya kebaikan ini salah satu cara untuk meraih adalah dengan menjaga keshalihan dan ketakwaan kita. Maka dari itu ada pengaruh antara keshalihan orang tua dengan keshalihan ataupun kebaikan yang ada pada anak kita. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa semua orang tua punya harapan yang sama dan serupa terhadap anak-anak kita. Kita semua ingin agar anak-anak kita menjadi anak yang shalih dan shalihah. Kita juga berharap supaya mereka senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, berguna bagi Islam dan kaum muslimin. Namun kita harus menyadari dan mengetahui bahwa keshalihan dan ketakwaan diri kita sebagai orang tua itu adalah modal yang sangat penting, modal yang utama untuk meraih keberhasilan tersebut.
Tentunya kalau kita berbuat sebaliknya, yaitu kita melakukan keburukan, kejahatan, kedzaliman, dosa dan maksiat, maka itu akan berpengaruh juga kepada anak-anak kita. Maka lucu sekali apabila kita mengharapkan anak yang shalih dan bertakwa sementara kita menjalani kehidupan dalam kubangan dosa dan maksiat.
Jadi keshalihan perilaku dan kebaikan perilaku orang tua memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk keshalihan anak. Bahkan akan mendatangkan kebaikan bagi si anak di dunia maupun di akhirat. Kebaikan orang tua bisa menjadi berkah bagi si anak. Maka setiap kebaikan yang dilakukan oleh orang tua, itu akan menghasilkan kebaikan pula.
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ ﴿٦٠﴾
“Bukankah kebaikan itu akan melahirkan kebaikan?” (QS. Ar-Rahman[55]: 60)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita di dalam Al-Qur’an kisah perjalanan menuntut ilmu Nabi Musa dengan Nabi Khidir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam surat Al-Kahfi, salah satunya adalah ketika Nabi Musa dan Nabi Khidir melewati sebuah perkampungan. Mereka berdua meminta penduduk kampung itu supaya menyambut dan menjamu mereka. Namun penduduk kampung itu menolaknya. Kemudian keduanya melihat bangunan yang hampir roboh. Tiba-tiba Nabi Khidir memperbaiki dinding rumah itu hingga tegak kembali tanpa meminta upah ataupun balasan dari penduduk kampung tersebut. Maka Nabi Musa berkata:
…لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا ﴿٧٧﴾
“...jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” (QS. Al-Kahfi[18]: 77)
Sementara syarat Nabi Musa boleh mengikuti Nabi Khidir dan menimba ilmu darinya adalah tidak boleh bertanya tentang apa yang beliau lakukan. Maka ini adalah kali ketiga Nabi Musa melanggarnya. Maka Nabi Khidir menjelaskan satu-persatu perkara-perkara yang telah mereka lewati. Adapun berkaitan dengan dinding ataupun rumah roboh yang dibangun kembali oleh Nabi Khidir itu, beliau mengatakan:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ
“Adapun rumah yang hampir roboh itu, itu adalah milik dua orang anak yatim di kampung itu yang di bawahnya tersimpan harta warisan bagi mereka berdua dari orang tua mereka. Dan ayah mereka berdua adalah orang yang shalih. Maka Allah berkehendak agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan harta simpanan itu untuk mereka sebagai rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Kahfi[18]: 79)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan anak keturunan laki-laki shalih ini dan menyelamatkan hartanya hingga sampai ke tangan kedua anaknya karena keshalihannya. Allah mengatakan bahwa salah satu sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kedua anaknya sampai baligh dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga harta yang ditinggalkan sehingga jatuh ke tangan kedua anaknya adalah karena keshalihannya.
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Dan ayah kedua anak yatim ini adalah orang shalih.”
Jadi kesalahan orang tua itu bermanfaat bagi si anak di dunia maupun di akhirat. Di dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kebaikan-kebaikan atas keshalihan orang tua. Dan di akhirat, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga mereka dari keburukan-keburukan di hari kimata, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan anak-anak ini sebagai penyebab dia masuk ke dalam surga. Karena itu adalah hasil usahanya, itu adalah upaya yang telah dia lakukan. Setiap kebaikan yang dia tanamkan akan berbuah kebaikan bagi anak-anaknya dan juga bagi dirinya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya.” (HR. Muslim)
Di sini kita dapat memetik suatu pelajaran bahwa keshalihan orang tua itu bermanfaat bagi anak-anak kita. Bagi mereka di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan segenap orang tua yang mengkhawatirkan masa depan anak-anak supaya bertaqwa, beramal shalih, beramar ma’ruf nahi munkar dan mengerjakan amal-amal ketaatan. Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga mereka dan menjaga anak cucu mereka dengan keshalihan mereka tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa ayat 9:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّـهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٩﴾
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan anak-anak mereka itu. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa[4]: 9)
Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan di sini solusinya ataupun caranya supaya kita tidak meninggalkan anak-anak keturunan yang lemah dan mengkhawatirkan di depan kita ataupun setelah kita adalah ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketakwaan orang tua dan kelurusan mereka, kebaikan akhlak mereka, itu akan menjaga anak-anak keturunan mereka. Sebagaimana dikatakan bahwa kebaikan itu akan melahirkan kebaikan. Kata pepatah kita mengatakan: “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Artinya adalah apa yang kita tanam di dalam kehidupan ini berupa pohon-pohon kebaikan, kita akan menuai atau memanen buahnya.
Mungkin kita tidak merasakannya ataupun kita tidak mencicipi buahnya, tapi anak-anak keturunan kita sepeninggal kita, mereka yang akan mencicipi buahnya. Maka di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada para orang tua bahwa keshalihan, ketakwaan, kebaikan mereka itu akan berpengaruh kepada anak-anak mereka di kemudian hari kelak. Mungkin setelah kita tidak tinggal di muka bumi lagi, mungkin setelah kita wafat, mereka akan mendapatkan kebaikan-kebaikan tersebut. Ini bisa kita lihat dari kehidupan para ulama, bagaimana mereka menyiapkan suatu kebaikan bagi generasi-generasi penerus atau anak-anak mereka. Yaitu dengan menjaga diri mereka dengan ketakwaan dan keshalihan mereka.
Para Salaf dahulu bersungguh-sungguh dalam ibadah, itu salah satu dorongan mereka melakukannya adalah demi kebaikan anak cucu. Mereka berupaya untuk menjadi orang yang shalih, orang yang bertakwa itu semua demi kebaikan anak cucu. Karena anak-anak kita akan merasakan juga apa yang ditinggalkan oleh orang tua. Kalau yang ditinggalkan oleh orang tua adalah keburukan, maka anak-anak ini juga akan merasakan keburukannya.
Sebagai contoh, orang tua yang tidak menjaga diri kemudian dia melakukan hal-hal yang tercela. Misalnya sebagian orang ini tidak sayang anak betul memang, dia melakukan kedzaliman terhadap orang lain, nipu sana nipu sini, menilap harta orang lain, pokoknya bermasalah di dalam muamalahnya kepada manusia. Mungkin dia tidak merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Dia berapa lama lagi kah dia ini hidup di dunia, mungkin tidak lama lagi orang tua yang seperti ini yang melakukan keburukan, kejahatan, kedzaliman. Mereka mungkin tidak merasakan keburukannya. Sebutan-sebutan yang buruk yang mereka dapatkan mungkin cuma mereka rasakan beberapa tahun. Beberapa tahun kemudian mungkin mereka sudah tidak ada lagi di dunia. Sementara anak-anak mereka akan menyandang keburukan itu sampai akhir hayatnya. Banyak anak-anak yang minder melihat perbuatan orang tuanya. Ini berpengaruh besar kepada kemajuan anak ini, perkembangan anak ini. Dia menjadi anak yang tidak percaya diri, dia minder ataupun dia malu terhadap perbuatan orang tuanya. Jadi keburukan-keburukan ini akan berdampak kepada anak-anak mereka.
Kita bisa lihat, banyak orang tua yang meninggalkan keburukan bagi anak-anaknya. Yang jadi korban adalah bukan dirinya, tapi anak-anak mereka yang menyandang keburukan orang tuanya itu sampai-sampai akhir hayat mereka. Maka orang tua, ayah dan ibu yang melakukan keburukan, itu sebenarnya mereka merugikan bukan hanya diri mereka, tapi juga merugikan anak-anak mereka yang akan menyandang keburukan itu sampai dewasa. Mereka akan terus menyandang itu. Mereka dikatakan sebagai anak tukang tipu, anak penipu, anak orang yang jahat dan lain-lain sebagainya sebutan-sebutan buruk. Sementara orang tuanya mungkin sudah tidak ada lagi di dunia, sudah selesai urusannya dengan dunia.
Maka kalau kita sayang anak, jagalah diri kita, jagalah keshalihan kita, itu salah satu bukti atau tanda bahwa kita memang betul-betul sayang kepada anak kita. Kita jaga perilaku kita, kita jaga akhlak kita, kita jaga ibadah kita, hubungan kita kepada Allah dan hubungan kita kepada manusia.
Said bin Al-Musayyib mengatakan: “Tatkala dalam shalat, aku teringat anakku. Maka aku pun menambah rakaat shalatku.” Ini salah satu yang mendorong beliau. Bukan shalat karena anak, shalat lillahi ta’ala. Tapi ada yang mendorong kita untuk mengerjakannya. Seperti kita berdoa, apa yang mendorong kita berdoa? Demikian Said bin Al-Musayyib. Ia teringat anaknya di dalam shalat. Maka ia pun menambah rakaatnya. Misalnya shalat dhuha, sebelumnya niatnya sih 4 rakaat saja, tapi teringat anak di rumah, maka ia menambahnya jadi 8 rakaat. shalat malam biasanya 3 rakaat, tapi malam itu dia teringat anaknya, maka dia tambah jadi 5 rakaat. Mereka menambah ketaatan-ketaatan mereka, amal-amal shalih mereka, demi anak-anak mereka dan untuk kebaikan anak-anak mereka.
Download dan simak penjelasan lengkapnya pada menit ke-15:49
Lihat juga: Cara Mendidik Anak dan Pentingnya Mencetak Generasi Rabbani
Kajian Islam Tentang Keshalihan Orang Tua Merupakan Modal Utama Pendidikan Anak
Mari turut membagikan hasil rekaman ataupun link kajian Keshalihan Orang Tua Merupakan Modal Utama Pendidikan Anak ini melalui jejaring sosial Facebook, Twitter dan yang Anda miliki, agar orang lain bisa turut mengambil manfaatnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.
Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com
Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :
Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv
Pencarian:pendidikan anak dalam islam, hadits tentang pendidikan anak, makalah pendidikan anak, pendidikan anak usia dini, tujuan pendidikan anak usia dini, peran orang tua dalam pendidikan anak, ayat tentang pendidikan anak
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48401-keshalihan-orang-tua-merupakan-modal-utama-pendidikan-anak/